Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan menolak usul penghilangan batas masa jabatan presiden. Maksimal menjabat dua periode dalam konstitusi dinilai sudah tepat. Sebab, menurut SBY, kekuasaan yang terlalu lama menimbulkan masalah yang tidak baik bagi kehidupan bernegara.
"Kalau ada pikiran-pikiran dari siapa pun, apakah mungkin masa jabatan presiden itu, yang sudah tepat dengan perjuangan luar biasa sepuluh-sebelas tahun lalu, kembali diubah? Menjadi tidak perlu ada pembatasan? Seorang SBY dan, saya kira, semua pihak, sependapat menolak dan menentang pikiran-pikiran seperti itu," tutur SBY dalam peringatan Hari Konstitusi dan HUT Ke-65 MPR di gedung DPR, Jakarta, kemarin.
SBY bercerita, batas masa jabatan presiden sudah digodok saat pembahasan amandemen pertama UUD 1945. Kala itu, pada 1998 hingga 1999, dia masih menjadi ketua Fraksi ABRI di MPR dan aktif mendorong pembatasan masa jabatan maksimal dua periode. "Saya menjadi pelaku utama dan terlibat langsung. Karena itu, saya sangat aktif mendorong masa jabatan presiden betul-betul dibatasi dan paling jauh dua kali," ucap SBY, disambut tepuk tangan hadirin.
SBY mengatakan, pembatasan masa jabatan itu diperlukan setelah memandang pengalaman masa lalu. Dia menyinggung secara implisit pengalaman jabatan Presiden Soekarno dan Soeharto yang berimplikasi buruk. "Pernah ada presiden yang, katakan, ditetapkan seumur hidup meski bukan permintaan sang presiden. Ada presiden yang dipilih berulang-ulang sampai enam kali meski melalui pemilihan umum. Pelajaran berharga yang dapat kita petik, ternyata kekuasaaan yang begitu lama menimbulkan masalah dan tidak baik bagi kehidupan sebuah negara," beber SBY.
SBY menjelaskan, kekuasaan yang besar memang cenderung korup. Sehingga, dalam amandemen pertama hingga keempat UUD 1945, yang dilakukan adalah melucuti kewenangan presiden. Perampingan kewenangan tersebut, papar SBY, berimplikasi positif pada check and balances antarlembaga negara.
SBY mengatakan, politik harus memiliki sandaran etika. Meski memungkinkan, perubahan UUD ataupun ketentuan di bawahnya oleh seseorang tidak bisa ditujukan untuk kepentingan pribadi. "Jangan kita bersiasat dalam politik. Meskipun setiap orang punya pemikiran, jangan bersiasat," ucap SBY.
Selain pembatasan masa jabatan, etika politik menyangkut hal lain. SBY mencontohkan, meskipun dipilih dengan demokratis, tidak pantas seorang pemimpin memberikan saluran kepada istri atau anak untuk menggantikannya. "Politik juga mengenal nilai, mengenal etika. Mari kita dengan arif, dengan bijak, menimbang-nimbang mana yang patut dan yang tidak patut," ucap dia.
SBY menegaskan akan memberikan kesempatan kepada pemimpin-pemimpin baru saat masa jabatannya berakhir pada 20 Oktober 2014. Dia menjelaskan, banyak pemimpin yang akan muncul. "Saya tidak percaya kalau belum ada. Hampir pasti ada. Dulu juga begitu, belum ada, belum ada, belum ada. Terlena, tergoda kita semua. Pasti ada putra-putri bangsa yang siap melanjutkan estafet kepemimpinan, apakah presiden, apakah gubernur, apakah bupati dan wali kota," terang dia.
"Para gubernur, bupati, dan wali kota juga harus demikian. Jangan dikira tidak ada lagi yang bisa melanjutkan sehingga menginginkan istri atau anak atau siapa pun menggantikannya. Berikan kesempatan kepada masyarakat luas," tegas SBY.
Presiden kemarin sengaja berbicara mengenai pembatasan masa jabatan. Dia menanggapi usul perpanjangan masa jabatan presiden yang sebenarnya kali pertama dilontarkan oleh kadernya sendiri di Partai Demokrat, Ruhut Sitompul. "Saya dengar sudah masuk media online, masuk Twitter, pembicaraan di sana sini tentang usul dari satu dua kelompok untuk tidak lagi membatasi masa jabatan presiden. Tentu itu merupakan isu panas. Sebab, pasti yang dituduh. Jangan-jangan SBY yang mau," imbuhnya.
Untuk itu, dia merasa perlu mengklarifikasi secara langsung. "Pada Ramadan, bulan yang suci, saya ingin memberikan penjelasan langsung supaya tidak 'masuk angin'. Sebab, negara kita kadang-kadang kreatif, kreatif menggoreng, memutar ke sana kemari sesuatu yang sebetulnya tidak seperti itu," ujar SBY.
Memang muncul isu bahwa wacana tersebut merupakan bagian dari setting politik. Isu itu mencuat karena usul politikus yang dikenal kontroversial tersebut digulirkan tepat pada peringatan Hari Konstitusi di gedung parlemen, Senayan, kemarin.
Namun, Ruhut membantah usulannya itu sebagai setiing politik. "Itu bukan setting. Saya, Ruhut Poltak Sitompul, ngomong seperti itu dari hati yang sangat dalam," kata Ruhut setelah mengikuti acara peringatan Hari Konstitusi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar