Rabu, 18 Agustus 2010
Pembatasan Masa Jabatan Maksimal Dua Kali Sudah Tepat
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan menolak usul penghilangan batas masa jabatan presiden. Maksimal menjabat dua periode dalam konstitusi dinilai sudah tepat. Sebab, menurut SBY, kekuasaan yang terlalu lama menimbulkan masalah yang tidak baik bagi kehidupan bernegara.
"Kalau ada pikiran-pikiran dari siapa pun, apakah mungkin masa jabatan presiden itu, yang sudah tepat dengan perjuangan luar biasa sepuluh-sebelas tahun lalu, kembali diubah? Menjadi tidak perlu ada pembatasan? Seorang SBY dan, saya kira, semua pihak, sependapat menolak dan menentang pikiran-pikiran seperti itu," tutur SBY dalam peringatan Hari Konstitusi dan HUT Ke-65 MPR di gedung DPR, Jakarta, kemarin.
SBY bercerita, batas masa jabatan presiden sudah digodok saat pembahasan amandemen pertama UUD 1945. Kala itu, pada 1998 hingga 1999, dia masih menjadi ketua Fraksi ABRI di MPR dan aktif mendorong pembatasan masa jabatan maksimal dua periode. "Saya menjadi pelaku utama dan terlibat langsung. Karena itu, saya sangat aktif mendorong masa jabatan presiden betul-betul dibatasi dan paling jauh dua kali," ucap SBY, disambut tepuk tangan hadirin.
SBY mengatakan, pembatasan masa jabatan itu diperlukan setelah memandang pengalaman masa lalu. Dia menyinggung secara implisit pengalaman jabatan Presiden Soekarno dan Soeharto yang berimplikasi buruk. "Pernah ada presiden yang, katakan, ditetapkan seumur hidup meski bukan permintaan sang presiden. Ada presiden yang dipilih berulang-ulang sampai enam kali meski melalui pemilihan umum. Pelajaran berharga yang dapat kita petik, ternyata kekuasaaan yang begitu lama menimbulkan masalah dan tidak baik bagi kehidupan sebuah negara," beber SBY.
SBY menjelaskan, kekuasaan yang besar memang cenderung korup. Sehingga, dalam amandemen pertama hingga keempat UUD 1945, yang dilakukan adalah melucuti kewenangan presiden. Perampingan kewenangan tersebut, papar SBY, berimplikasi positif pada check and balances antarlembaga negara.
SBY mengatakan, politik harus memiliki sandaran etika. Meski memungkinkan, perubahan UUD ataupun ketentuan di bawahnya oleh seseorang tidak bisa ditujukan untuk kepentingan pribadi. "Jangan kita bersiasat dalam politik. Meskipun setiap orang punya pemikiran, jangan bersiasat," ucap SBY.
Selain pembatasan masa jabatan, etika politik menyangkut hal lain. SBY mencontohkan, meskipun dipilih dengan demokratis, tidak pantas seorang pemimpin memberikan saluran kepada istri atau anak untuk menggantikannya. "Politik juga mengenal nilai, mengenal etika. Mari kita dengan arif, dengan bijak, menimbang-nimbang mana yang patut dan yang tidak patut," ucap dia.
SBY menegaskan akan memberikan kesempatan kepada pemimpin-pemimpin baru saat masa jabatannya berakhir pada 20 Oktober 2014. Dia menjelaskan, banyak pemimpin yang akan muncul. "Saya tidak percaya kalau belum ada. Hampir pasti ada. Dulu juga begitu, belum ada, belum ada, belum ada. Terlena, tergoda kita semua. Pasti ada putra-putri bangsa yang siap melanjutkan estafet kepemimpinan, apakah presiden, apakah gubernur, apakah bupati dan wali kota," terang dia.
"Para gubernur, bupati, dan wali kota juga harus demikian. Jangan dikira tidak ada lagi yang bisa melanjutkan sehingga menginginkan istri atau anak atau siapa pun menggantikannya. Berikan kesempatan kepada masyarakat luas," tegas SBY.
Presiden kemarin sengaja berbicara mengenai pembatasan masa jabatan. Dia menanggapi usul perpanjangan masa jabatan presiden yang sebenarnya kali pertama dilontarkan oleh kadernya sendiri di Partai Demokrat, Ruhut Sitompul. "Saya dengar sudah masuk media online, masuk Twitter, pembicaraan di sana sini tentang usul dari satu dua kelompok untuk tidak lagi membatasi masa jabatan presiden. Tentu itu merupakan isu panas. Sebab, pasti yang dituduh. Jangan-jangan SBY yang mau," imbuhnya.
Untuk itu, dia merasa perlu mengklarifikasi secara langsung. "Pada Ramadan, bulan yang suci, saya ingin memberikan penjelasan langsung supaya tidak 'masuk angin'. Sebab, negara kita kadang-kadang kreatif, kreatif menggoreng, memutar ke sana kemari sesuatu yang sebetulnya tidak seperti itu," ujar SBY.
Memang muncul isu bahwa wacana tersebut merupakan bagian dari setting politik. Isu itu mencuat karena usul politikus yang dikenal kontroversial tersebut digulirkan tepat pada peringatan Hari Konstitusi di gedung parlemen, Senayan, kemarin.
Namun, Ruhut membantah usulannya itu sebagai setiing politik. "Itu bukan setting. Saya, Ruhut Poltak Sitompul, ngomong seperti itu dari hati yang sangat dalam," kata Ruhut setelah mengikuti acara peringatan Hari Konstitusi.
"Kalau ada pikiran-pikiran dari siapa pun, apakah mungkin masa jabatan presiden itu, yang sudah tepat dengan perjuangan luar biasa sepuluh-sebelas tahun lalu, kembali diubah? Menjadi tidak perlu ada pembatasan? Seorang SBY dan, saya kira, semua pihak, sependapat menolak dan menentang pikiran-pikiran seperti itu," tutur SBY dalam peringatan Hari Konstitusi dan HUT Ke-65 MPR di gedung DPR, Jakarta, kemarin.
SBY bercerita, batas masa jabatan presiden sudah digodok saat pembahasan amandemen pertama UUD 1945. Kala itu, pada 1998 hingga 1999, dia masih menjadi ketua Fraksi ABRI di MPR dan aktif mendorong pembatasan masa jabatan maksimal dua periode. "Saya menjadi pelaku utama dan terlibat langsung. Karena itu, saya sangat aktif mendorong masa jabatan presiden betul-betul dibatasi dan paling jauh dua kali," ucap SBY, disambut tepuk tangan hadirin.
SBY mengatakan, pembatasan masa jabatan itu diperlukan setelah memandang pengalaman masa lalu. Dia menyinggung secara implisit pengalaman jabatan Presiden Soekarno dan Soeharto yang berimplikasi buruk. "Pernah ada presiden yang, katakan, ditetapkan seumur hidup meski bukan permintaan sang presiden. Ada presiden yang dipilih berulang-ulang sampai enam kali meski melalui pemilihan umum. Pelajaran berharga yang dapat kita petik, ternyata kekuasaaan yang begitu lama menimbulkan masalah dan tidak baik bagi kehidupan sebuah negara," beber SBY.
SBY menjelaskan, kekuasaan yang besar memang cenderung korup. Sehingga, dalam amandemen pertama hingga keempat UUD 1945, yang dilakukan adalah melucuti kewenangan presiden. Perampingan kewenangan tersebut, papar SBY, berimplikasi positif pada check and balances antarlembaga negara.
SBY mengatakan, politik harus memiliki sandaran etika. Meski memungkinkan, perubahan UUD ataupun ketentuan di bawahnya oleh seseorang tidak bisa ditujukan untuk kepentingan pribadi. "Jangan kita bersiasat dalam politik. Meskipun setiap orang punya pemikiran, jangan bersiasat," ucap SBY.
Selain pembatasan masa jabatan, etika politik menyangkut hal lain. SBY mencontohkan, meskipun dipilih dengan demokratis, tidak pantas seorang pemimpin memberikan saluran kepada istri atau anak untuk menggantikannya. "Politik juga mengenal nilai, mengenal etika. Mari kita dengan arif, dengan bijak, menimbang-nimbang mana yang patut dan yang tidak patut," ucap dia.
SBY menegaskan akan memberikan kesempatan kepada pemimpin-pemimpin baru saat masa jabatannya berakhir pada 20 Oktober 2014. Dia menjelaskan, banyak pemimpin yang akan muncul. "Saya tidak percaya kalau belum ada. Hampir pasti ada. Dulu juga begitu, belum ada, belum ada, belum ada. Terlena, tergoda kita semua. Pasti ada putra-putri bangsa yang siap melanjutkan estafet kepemimpinan, apakah presiden, apakah gubernur, apakah bupati dan wali kota," terang dia.
"Para gubernur, bupati, dan wali kota juga harus demikian. Jangan dikira tidak ada lagi yang bisa melanjutkan sehingga menginginkan istri atau anak atau siapa pun menggantikannya. Berikan kesempatan kepada masyarakat luas," tegas SBY.
Presiden kemarin sengaja berbicara mengenai pembatasan masa jabatan. Dia menanggapi usul perpanjangan masa jabatan presiden yang sebenarnya kali pertama dilontarkan oleh kadernya sendiri di Partai Demokrat, Ruhut Sitompul. "Saya dengar sudah masuk media online, masuk Twitter, pembicaraan di sana sini tentang usul dari satu dua kelompok untuk tidak lagi membatasi masa jabatan presiden. Tentu itu merupakan isu panas. Sebab, pasti yang dituduh. Jangan-jangan SBY yang mau," imbuhnya.
Untuk itu, dia merasa perlu mengklarifikasi secara langsung. "Pada Ramadan, bulan yang suci, saya ingin memberikan penjelasan langsung supaya tidak 'masuk angin'. Sebab, negara kita kadang-kadang kreatif, kreatif menggoreng, memutar ke sana kemari sesuatu yang sebetulnya tidak seperti itu," ujar SBY.
Memang muncul isu bahwa wacana tersebut merupakan bagian dari setting politik. Isu itu mencuat karena usul politikus yang dikenal kontroversial tersebut digulirkan tepat pada peringatan Hari Konstitusi di gedung parlemen, Senayan, kemarin.
Namun, Ruhut membantah usulannya itu sebagai setiing politik. "Itu bukan setting. Saya, Ruhut Poltak Sitompul, ngomong seperti itu dari hati yang sangat dalam," kata Ruhut setelah mengikuti acara peringatan Hari Konstitusi.
Kamis, 12 Agustus 2010
Politik Uang dalam Pilkada Tak Bisa Dibiarkan
Sikap publik yang menerima politik uang mengejutkan berbagai pihak. Misalnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, hasil survei oleh Universitas Paramadina dan Pride Indonesia itu tidak serta-merta disimpulkan bahwa publik memang merestui adanya money politics. Situasi sosial dan kualitas politik, terutama dalam pilkada, justru dianggap memicu politik uang itu.
''Realitas sekarang, masih banyak masyarakat yang miskin. Polisi juga tidak sejahtera. Apa masyarakat yang disalahkan?'' kata Febri Diansyah, peneliti ICW, di gedung DPR, Jakarta, kemarin (11/8).
Menurut dia, merupakan sebuah fakta bahwa saat ini publik menerima politik uang. Namun, sumber masalah sebenarnya terletak pada proses seleksi dan rekrutmen parpol. Parpol dan pasangan calon memiliki motif untuk bisa memenangi sebuah pertarungan pilkada. Politik uang menjadi jalan paling praktis.
Bak gayung bersambut, masyarakat yang rata-rata berada di kalangan menengah ke bawah menjadi korban politik uang itu. ''Tidak bisa (politik uang) ditimpakan kepada masyarakat,'' tegasnya.
Sebagai lembaga, sudah saatnya parpol memiliki program jangka panjang. Perekrutan kader, dalam posisi apa pun, seharusnya juga diimbangi dengan pendidikan politik kepada masyarakat. Penyelenggara pemilu juga dituntut bisa menjadi juri yang adil dalam gelaran pemilu. ''Keseriusan partai, KPU, maupun pengawas pemilu hampir tidak terlihat,'' ungkapnya.
Anggota Komisi II DPR Arif Wibowo mengakui bahwa praktik politik uang merupakan bentuk kegagalan partai. Itu sudah menjadi catatan yang terus dievaluasi. Munculnya politik uang disebabkan adanya kecenderungan pragmatisme dari internal partai. ''Yang memulai memang elite (politik) sendiri,'' katanya di tempat terpisah.
Jika dikatakan hal tersebut terjadi karena gagalnya kaderisasi dan pendidikan politik, Arif menyatakan faktor itu telah terbantahkan. Kenyataannya, jika melihat parpol, publik saat ini selalu beranggapan apatis. Sistem demokrasi yang coba ditawarkan partai pun menjadi tidak berguna. ''Itu berulang terus-menerus. Secara otomatis, ya sudah, yang konkret saja,'' tegasnya mengilustrasikan. Meski begitu, dia sependapat bahwa publik tidak boleh disalahkan atas situasi tersebut.
Lantas, solusi apa yang ditawarkan? Arif menyatakan, cita-cita untuk membuat pemilu yang murah harus segera diwujudkan. Praktik politik uang, yang bermuara pada korupsi, muncul karena biaya pemilu yang tinggi. Karena itu, konsep penggabungan pemilu harus segera diwujudkan. ''Pemilu nanti hanya terjadi dua kali, pemilu nasional dan pilkada serentak,'' saran dia.
Semua dana pilkada tersebut, kata dia, harus ditanggung sepenuhnya oleh APBN. Usul itu memang baru sebatas wacana. Namun, ide tersebut merupakan salah satu terobosan pemilu dengan biaya murah. ''Regulasi harus diperbaiki. Sebab, itu akan mengulangi pemilu berbiaya tinggi,'' ujarnya.
Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum juga mengakui bahwa banyak hal yang perlu diperbaiki dalam pelaksanaan pilkada. Masih terbuka lebarnya peluang politik uang dalam pesta demokrasi di daerah tidak bisa terus dibiarkan. ''Politik uang tidak hanya destruktif, tapi juga melukai semangat demokrasi,'' ungkapnya.
Untuk menggeser politik uang tersebut, Anas mengajak seluruh pihak menganut pragmatisme positif dalam berpolitik. Pragmatisme positif itu memastikan agenda, ide, gagasan, serta program aksi agar dapat terlaksana demi kesejahteraan rakyat. Bukan demi kepentingan pribadi sebagaimana pragmatisme negatif. ''Semua elite politik harus berkomitmen dulu memerangi politik uang, kemudian ditelurkan dalam bentuk kebijakan dan lainnya,'' tegasnya.
''Realitas sekarang, masih banyak masyarakat yang miskin. Polisi juga tidak sejahtera. Apa masyarakat yang disalahkan?'' kata Febri Diansyah, peneliti ICW, di gedung DPR, Jakarta, kemarin (11/8).
Menurut dia, merupakan sebuah fakta bahwa saat ini publik menerima politik uang. Namun, sumber masalah sebenarnya terletak pada proses seleksi dan rekrutmen parpol. Parpol dan pasangan calon memiliki motif untuk bisa memenangi sebuah pertarungan pilkada. Politik uang menjadi jalan paling praktis.
Bak gayung bersambut, masyarakat yang rata-rata berada di kalangan menengah ke bawah menjadi korban politik uang itu. ''Tidak bisa (politik uang) ditimpakan kepada masyarakat,'' tegasnya.
Sebagai lembaga, sudah saatnya parpol memiliki program jangka panjang. Perekrutan kader, dalam posisi apa pun, seharusnya juga diimbangi dengan pendidikan politik kepada masyarakat. Penyelenggara pemilu juga dituntut bisa menjadi juri yang adil dalam gelaran pemilu. ''Keseriusan partai, KPU, maupun pengawas pemilu hampir tidak terlihat,'' ungkapnya.
Anggota Komisi II DPR Arif Wibowo mengakui bahwa praktik politik uang merupakan bentuk kegagalan partai. Itu sudah menjadi catatan yang terus dievaluasi. Munculnya politik uang disebabkan adanya kecenderungan pragmatisme dari internal partai. ''Yang memulai memang elite (politik) sendiri,'' katanya di tempat terpisah.
Jika dikatakan hal tersebut terjadi karena gagalnya kaderisasi dan pendidikan politik, Arif menyatakan faktor itu telah terbantahkan. Kenyataannya, jika melihat parpol, publik saat ini selalu beranggapan apatis. Sistem demokrasi yang coba ditawarkan partai pun menjadi tidak berguna. ''Itu berulang terus-menerus. Secara otomatis, ya sudah, yang konkret saja,'' tegasnya mengilustrasikan. Meski begitu, dia sependapat bahwa publik tidak boleh disalahkan atas situasi tersebut.
Lantas, solusi apa yang ditawarkan? Arif menyatakan, cita-cita untuk membuat pemilu yang murah harus segera diwujudkan. Praktik politik uang, yang bermuara pada korupsi, muncul karena biaya pemilu yang tinggi. Karena itu, konsep penggabungan pemilu harus segera diwujudkan. ''Pemilu nanti hanya terjadi dua kali, pemilu nasional dan pilkada serentak,'' saran dia.
Semua dana pilkada tersebut, kata dia, harus ditanggung sepenuhnya oleh APBN. Usul itu memang baru sebatas wacana. Namun, ide tersebut merupakan salah satu terobosan pemilu dengan biaya murah. ''Regulasi harus diperbaiki. Sebab, itu akan mengulangi pemilu berbiaya tinggi,'' ujarnya.
Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum juga mengakui bahwa banyak hal yang perlu diperbaiki dalam pelaksanaan pilkada. Masih terbuka lebarnya peluang politik uang dalam pesta demokrasi di daerah tidak bisa terus dibiarkan. ''Politik uang tidak hanya destruktif, tapi juga melukai semangat demokrasi,'' ungkapnya.
Untuk menggeser politik uang tersebut, Anas mengajak seluruh pihak menganut pragmatisme positif dalam berpolitik. Pragmatisme positif itu memastikan agenda, ide, gagasan, serta program aksi agar dapat terlaksana demi kesejahteraan rakyat. Bukan demi kepentingan pribadi sebagaimana pragmatisme negatif. ''Semua elite politik harus berkomitmen dulu memerangi politik uang, kemudian ditelurkan dalam bentuk kebijakan dan lainnya,'' tegasnya.
Langganan:
Postingan (Atom)